Senin, 28 Desember 2009

PERCAKAPAN SETELAH BERCINTA

Dalam sepuluh tahun ini, kucoba dan kulayani berbagai jenis laki laki, besar-kecil, panjang-pendek, tua-muda, arab-cina, melayu-bule, tuntas-prematur, kaya-miskin, pokoknya laki-laki dari Aceh sampai Zanzibar lah. Mereka merasa bahwa dengan meniduriku, mereka telah mengalahkanku dan menguasaiku….

Aku bukan perempuan pekerja seks komersial. Bukan pula perempuan kesepian yang haus seks. Aku tak pernah dibayar untuk disetubuhi, apalagi membayar untuk ditiduri. Aku punya pekerjaan tetap dengan jabatan lumayan tinggi di sebuah perusahaan swasta dan gajiku lebih dari cukup. Teman-teman sekantorku bilang aku cantik. Kalau bercermin, aku selalu tersenyum dan membenarkan perkataan mereka. Tubuhku padat berisi. Melihat tinggi badanku yang 170cm, mata semua laki-laki itu selalu terbelalak saat kulepaskan pakaianku di depan mereka. Umurku kini 30 tahun. Sejak pertama kali bercinta saat umurku 20 tahun, aku selalu mencari dan mencari laki-laki yang kuinginkan.

Mungkin kau heran, dengan wajah dan tubuhku yang seperti ini, dalam kurun waktu 10 tahun, aku cuma bisa mendapatkan 38 laki-laki? Jangan salah. Aku bukan tipe perempuan gampangan. Aku juga tidak suka one night stand. Untuk bisa bercinta denganku, seorang laki2 harus bergaul cukup lama denganku. Kalau dia lolos melewati tes perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baru kubuka peluang baginya untuk mengajakku ke tempat tidur. Di tempat tidur, aku selalu bercinta habis-habisan. Semua kulakukan supaya partnerku puas. Apapun yang mereka mau, aku selalu turuti. Mengapa semua ini kulakukan? Karena aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan setelah bercinta.

Kesalahan besar yang dilakukan laki-laki adalah menganggap bahwa perempuan ingin dipuaskan. Mereka mengira, kalau bisa bikin aku orgasme, artinya mereka hebat dan telah memberi sesuatu yang tak ternilai buatku. Mereka coba berbagai cara, minum obat kuat, foreplay yang lama, bantuan alat, sextoys… Well, orgasme memang kadang perlu. Tapi bukan itu yang kucari.

Aku ingin bercakap dan bertukar cerita setelah bercinta. Sambil dipeluk dan dibelai-belai, aku ingin mendengarkan cerita dari mulut laki-laki yang baru saja meniduriku. Tentang apa saja. Masa kecilnya, suasana kantornya, anekdot lucu atau bahkan cerita porno sekalipun. Anything. Aku ingin setelah aku memuaskan mereka, giliran aku yang menikmati perasaan nyaman dan aman, mendengarkan untaian kata-kata dari mulut mereka, sambil sesekali jemariku memainkan bulu dada mereka, jika kebetulan ada. Aku ingin keringatku mengering sambil aku dipeluk oleh orang yang bikin aku berkeringat itu. Aku senang sekali kalau laki-laki itu meletakkan tangan mereka di dadaku. Hanya meletakkan tangan, tanpa memain-mainkan jemari mereka.

Aku menganggap bahwa percakapan setelah bercinta itulah yang jadi ukuran penghargaan seorang pria kepada pasangan bercintanya. Setelah bersama-sama meraih kenikmatan, bersama-sama pula cooling down sampai akhirnya berdua sama-sama siap untuk bercinta lagi, … dan lagi.

Tapi apa yang ketigapuluh tujuh laki-laki itu lakukan? Ada yang langsung tertidur pulas. Enak bener. Setelah kuservis habis-habisan, ngorok pula. Tiada maaf bagi mereka. Ada lagi yang langsung teriak-teriak’”Tissue…! Mana tissue?” Huh… ketahuan bener mereka takut aku hamil. Bangsat! Aku kan sudah mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk menjaga diriku agar tidak hamil. Sebagian lagi malah agak menggeser posisinya menjauhiku. Seolah tubuhku ini cuma ‘disposable flesh’, sesuatu bekas pakai yang lengket-lengket dan harus dijauhi. Apa mereka lupa bahwa tubuhku lengket oleh cairan mereka sendiri? Menyebalkan. Ada lagi yang bikin aku tak mau kenal lagi dengan mereka. Mereka yang setelah bercinta, cepat-cepat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mereka pikir aku ini sumber penyakit. Ada lagi yang cari-cari alasan untuk segera pulang, atau balik lagi ke kantor, atau apalah. Seolah aku ini cuma tempat untuk buang hajat saja. Kurang ajar sekali.

Apa yang dilakukan Gerson padaku benar-benar lain. Setelah bercinta, dia mencium keningku, lalu berbisik di telingaku “Thank you hon….!” Aku mengangguk sambil tersenyum. Tangannya yang kekar lalu merengkuh pundakku. Jemarinya merapikan rambutku yang acak-acakan menutupi wajahku. Lalu mulailah dia bercerita. Pada kesempatan pertama dia bercerita tentang suasana kantornya. Walau tidak begitu menarik, aku menghargainya. Setelah bercinta yang kedua kali, dia bercerita tentang kehidupan masa kecilnya yang lucu. Aku senang sekali. Cara dia menceritakan sungguh enak dilihat. Saat aku tertawa mendengar cerita lucunya, dia mengatakan padaku bahwa mataku berbinar-binar. Ah, seandainya saja dia tahu bahwa dalam hati aku teriak-teriak kegirangan bahwa aku menemukan laki-laki yang kucari selama ini.

Begitulah. Kalau dengan laki-laki lain, aku cukup sekali atau dua kali saja mau diajak tidur, dengan Gerson aku selalu mengangguk gembira saat dia mengajakku bercinta. Dia seolah tahu bahwa aku menyukai semua yang dia ceritakan selepas bercinta. Berkali-kali kami bercinta, sebanyak itu pula cerita menarik mengalir dari mulutnya.

“Aku senang kau mau mendengar ceritaku,” begitu kata Gerson setelah dia bercerita saat kami bercinta untuk pertama kalinya. “Kuharap kamu tidak keberatan untuk mendengarkan cerita-ceritaku. Aku punya banyak hal yang ingin kuceritakan padamu”. Saat itu hatiku melonjak-lonjak.

= = =

Aku mencintai ayahku. Sejak kecil hingga kelas dua SMP aku selalu tidur dengannya. Setiap malam sebelum tidur, dia selalu menemaniku, membacakan kisah-kisah binatang, raja-raja dan putri cantik, cerita tentang pekerjaannya, masa kecilnya atau menanyakan kegiatanku tadi siang di sekolah. Aku sangat menyukai saat-saat seperti itu. Aku selalu serius mendengarkan dan bersemangat kalau disuruh bercerita.

Ayahku adalah orang terdekat dalam hidupku. Ibuku meninggal saat melahirkan. Aku hanya tahu lewat foto-foto yang ditunjukkan ayahku. Laki-laki ini tak pernah menikah lagi. Dia berkonsentrasi pada pekerjaannya dan mengurus diriku. Dia ayah yang baik. Sebagai single parent, dia berhasil menjadikan dirinya ayah, sekaligus ibu yang mengurus dan memenuhi semua kebutuhanku baik secara materi maupun non materi.

Kebiasaan untuk bertukar cerita dengan ayahku sebelum tidur benar-benar besar artinya bagiku. Aku tak bisa tidur kalau ayah tidak ada di sampingku untuk bercerita, atau memintaku bercerita. Sampai akhirnya, pada suatu malam ayahku berkata bahwa aku harus harus tidur sendiri. Aku tahu sebabnya.

“Anita, kini kamu sudah dewasa, dan harus mulai belajar mengurus dirimu sendiri. Kini ada banyak hal baru yang harus kamu pelajari,” begitu kata ayahku saat kuceritakan bahwa tadi siang di sekolah aku mengalami menstruasi untuk pertama kalinya. Saat itu aku masih duduk di kelas dua SMP. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa itu hal yang normal dan aku tidak perlu cemas.

Besoknya sepulang sekolah, aku menemukan sebuah bingkisan di kamarku. Rupanya ayah membelikan banyak barang untukku. Dalam bingkisan itu ada setengah lusin bra, satu set kosmetik terdiri dari bedak, lotion, dan splash cologne, satu pak pembalut, dan sebuah buku panduan untuk remaja putri. Hm…!

Jadi mulai saat itu aku sudah bukan anak-anak lagi. Aku sudah jadi remaja putri yang akan menstruasi setiap bulan, menggunakan pembalut, dan harus berdandan menggunakan berbagai kosmetik. Memang menyenangkan mencoba berbagai kosmetik itu, lalu membayangkan akan ada pangeran tampan yang menjemput. Tapi harga yang harus kubayar untuk semua ini sungguh mahal. Sebetulnya aku lebih suka tidak mendapatkan semua ini, asal ayahku tetap mau menemaniku tidur dan bercerita sebelum aku terlelap. Rupanya keputusan ayah untuk membiarkanku tidur sendiri sudah tidak bisa diganggu gugat. Sejak saat itu aku tak pernah lagi tidur dengan laki-laki sampai usiaku menginjak 20 tahun.

= = =

Kini kuakui aku jatuh cinta pada Gerson. Aku ingin hidup bersamanya sampai aku tua nanti. Aku tidak peduli dia pengangguran atau manajer sukses. Aku tidak peduli dia Batak atau cucu kepala suku di Papua sana. Aku ingin bercinta dengannya setiap malam, lalu menikmati saat keringat ini mengering sambil mendengarkan ceritanya. Aku ingin hal ini terjadi setiap hari, sepanjang tahun, seumur hidupku.

Aku banyak membayangkan kalau aku dan Gerson hidup bersama sampai tua. Anak-anak kami mungkin sudah pada menikah dan sibuk mengurus keluarga masing-masing. Cucu kami mungkin sudah besar dan lebih banyak bermain dengan teman-teman seumur mereka. Tinggallah kami berdua di rumah. Mau pergi jalan-jalan mungkin sudah tidak kuat lagi. Apalagi berolah raga bersama. Satu-satunya hiburan buat kami hanyalah saling bertukar cerita. Dan itu saja yang kuinginkan kalau aku sudah jadi nenek –nenek tua renta.

Yang kini kutunggu dari Gerson adalah ajakannya kepadaku untuk hidup bersama. Ya, aku ingin memilikinya dan aku ingin jadi miliknya seorang. Cukuplah sudah pencarianku selama ini. Kupikir usia 30 tahun adalah saat yang tepat bagiku untuk memulai hidup baru dengan lebih serius, dengan satu orang laki-laki. Seandainya Gerson mengajakku menikah, atau bertunangan sekalipun, tak perlu dua kali dia meminta. Aku pasti akan mengangguk setuju. Jangankan begitu, seandainya dia memintaku untuk tinggal bersamanya di rumah kontrakannya yang kecil, aku akan bersedia. Atau kalau dia mau, aku sama sekali tidak keberatan dia tinggal di apartemenku ini.

= = =

Tak terasa sudah lima bulan aku menjalin hubungan dengan Gerson. Sampai hari ini masih juga belum ada tanda-tanda atau perkataannya yang menunjukan bahwa dia ingin menghabiskan hidupnya denganku. Ulang tahunku yang ketiga puluh sudah dekat. Aku ingin mendapatkan hadiah yang istimewa. Aku ingin dilamar Gerson. Tapi aku tidak merasa nyaman untuk mengatakan langsung padanya agar dia melamarku. Aku harus mencari cara supaya dia yang mengatakan padaku bahwa dia ingin melamarku.

Tadi sore saat dia datang ke apartemenku, aku sudah memberinya beberapa hints. Sambil membuka dasinya, dia mengeluh soal jalanan yang macet. Lalu aku bilang padanya bahwa kalau dia terlalu kecapean untuk pulang balik ke rumah kontrakannya yang jauh itu, lebih baik dia bawa saja barang-barangnya ke sini.

“Kamu berangkat ke kantor dari sini aja,” kataku. Kulihat dia tertegun. Aku yakin malam ini dia akan bicara sesuatu yang penting.

Benar saja. Malam itu sehabis bercinta, Gerson merengkuh pundakku lalu jemarinya menyibakkan rambut yang menutup wajahku. Dia mengecup keningku, lalu menatap mataku dalam-dalam.

“Anita, aku ingin mengatakan sesuatu tentang hubungan kita,” kata Gerson dengan lembut.

“So this is the time!” teriakku dalam hati. Aku sudah siap dilamar. Betapa indahnya. Di atas tempat tidurku yang temaram, sambil berpelukan tanpa sehelai benangpun yang menghalangi. Wangi aroma therapy di sudut ruangan. Langit Jakarta dari balik tirai tipis jendela kamarku yang besar. Semua akan jadi saksi perkataan Gerson padaku malam ini.

Gerson menghela nafas panjang, lalu berkata,”Aku menderita leukimia. Sudah lima dokter yang aku datangi. Semua jawabannya sama. Sudah tidak ada harapan.”

Aku melongo.

“Mereka bilang kalau aku bisa jaga diri, umurku akan bisa bertahan 6 bulan lagi,” lanjut Gerson.”Maafkan aku, Anita…”

Kurasakan mataku berkaca-kaca. Ah, only the good die young. “Gerson, itukah hadiah ulang tahun darimu untukku?”
Mereka tidak tahu bahwa mereka sebenarnya hanya mengikuti sebuah audisi, dan mereka semua telah tereliminasi oleh seorang laki-laki separuh baya bernama Gerson ini.

Tidak ada komentar: